(Dicari FREE WRITER, info selengkapnya, klik PENGUMUMAN.)

2012/08/02

KERAKUSAN $OEHARTO DAN KELUARGANYA (I)

Pertanggungjawabkan kekayaan 77 yayasan yang sudah ada!
Oleh : George J. Aditjondro
SITI HARDIYANTI RUKMANA alias Tutut bereaksi dengan refleks yang itu-itu juga dalam menghadapi krisis moneter dewasa ini. Tanpa menyebut nama yayasannya, Menteri Sosial yang kaya raya itu menghimbau agar Presiden dan semua pejabat tinggi lain menyumbangkan satu tahun gaji mereka ke yayasan yang dipimpinnya. Dana itu akan digunakannya untuk membantu menyelamatkan kaum miskin di Indonesia yang semakin sengsara saat ini.
Begitulan pengumuman resmi pemerintah, hari Selasa, 17 Maret lalu, yang saya baca di Sydney Morning Herald. Berita itu tidak menyebutkan nama yayasan yang dimaksud. Makanya, serta merta berita ini membangkitkan tiga tanda tanya di benak saya.
* Pertama, yayasan mana lagi yang dimaksud sang puteri mahkota Suharto ini?

* Kedua, kalau itu merupakan satu di antara 77 yayasan yang sudah dikuasai keluarga besar Suharto dan antek-anteknya, apakah yayasan itu pernah diaudit oleh akuntan publik, dan diumumkan kekayaannya secara terbuka di media massa?

* Ketiga, apakah kekayaan ke-77 yayasan yang sudah mereka kuasai belum cukup untuk mengatasi krisis moneter sekarang ini, sehingga Indonesia harus menjadi pengemis yang tergantung pada belas kasihan negara-negara lain dan badan-badan internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional?

Repotnya, pertanyaan berapa sebenarnya kekayaan keluarga Suharto dari yayasan-yayasan yang didirikan dan dipimpin oleh keluarga besar Suharto dan antek-anteknya, sangat sulit dijawab oleh "orang luar". Kesulitan melacak kekayaan semua yayasan itu diperparah oleh tumpang-tindihnya kekayaan keluarga Suharto dengan kekayaan sejumlah keluarga bisnis yang lain, misalnya keluarga-keluarga Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaya, Prajogo Pangestu, Bob Hasan, Bakrie dan Habibie.
Tujuh kelompok: ------------------------- Betapapun susahnya, marilah kita coba melacak kekayaan yayasan-yayasan Suharto. Untuk mempermudah usaha ini, saya bagi yayasan-yayasan itu dalam enam kelompok. 
Pertama : yayasan-yayasan yang diketuai Suharto sendiri.
Kedua, yayasan-yayasan yang diketuai atau ikut diurus oleh Nyonya Tien Suharto di masa hidupnya.
Ketiga, yayasan-yayasan di mana saudara sepupu Suharto, Sudwikatmono ikut berkuasa. Seperti kita ketahui, Sudwikatmono adalah saudara sepupu Suharto yang paling dipercayai mewakili kepentingan keluarga besar Suharto di kelompok Salim dan beberapa konglomerat lain, sebelum anak-anak Suharto sendiri mulai terjun ke lapangan bisnis.
Kemudian, kelompok keempat adalah yayasan-yayasan yang diketuai para anak dan menantu Suharto. Kelompok kelima adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola para besan Suharto beserta keluarga mereka. 
Kelompok keenam adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola sanak-saudara Suharto dan Nyonya Tien Suharto dari kampung halaman mereka di Yogya dan Solo. 
Akhirnya, kelompok ketujuh adalah yayasan-yayasan yang didominasi Suharto melalui beberapa orang tangan kananya yang paling setia, Habibie, Bob Hasan dan Sudomo.
Dalam kelompok pertama dapat dihimpun nama sebelas yayasan, yakni :
(1) Yayasan Supersemar
(2) Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais)
(3) Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab)
(4) Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
(5) Yayasan Serangan Umum 1 Maret
(6) Yayasan Bantuan Beasiswa Jatim Piatu Tri Komando Rakyat, disingkat Yayasan Trikora
(7) Yayasan Dwikora
(8) Yayasan Seroja
(9) Yayasan Nusantara Indah
(10) Yayasan Dharma Kusuma
dan (11) Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Vatikiotis, 1990: 63; Pangaribuan, 1995: 60-61, 70; Sinar Harapan, 16 Juni 1985; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-29; Gatra, 27 Jan. 1996).

Dalam kelompok kedua termasuk : 
(12) Yayasan Harapan Kita
(13) Yayasan Kartika Chandra
(14) Yayasan Kartika Djaja
(15) Yayasan Purna Bhakti Pertiwi
(16) Yayasan Dharma Bhakti Dharma Pertiwi
dan (17) Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (Gitosardjono, 1974; Robison, 1990: 343-345; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 27; Forum Keadilan, 23 Juni 1994: 36).

Yayasan Dharma Bhakti Dharma Pertiwi, sehari-hari diketuai dr. Nyonya Ida Feisal Tanjung, dan mencari dana antara lain melalui penyelenggaraan turnamen golf, seperti yang dilakukan di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur, tanggal 15-16 Oktober 1994, yang diikuti oleh 474 pegolf pria dan perempuan. Seperti yang sudah diketahui secara umum, lapangan golf swasta 18-lubang seluas 35 hektar ini merupakan lapangan golf kesayangan Suharto dan Bob Hasan. Keduanya merupakan anggota top, bersama Sudwikatmono, Aburizal Bakrie, dan sejumlah menteri, dengan membayar biaya keanggotaan seumur hidup sebesar Rp 5 juta. Itu tarif tahun 1992, lho! (Prospek , 22 Febr. 1992: 76; Progolf , Nov. 1994: 90-91).
Anak-anak dan menantu Suharto, sudah diikutsertakan dalam mengurusi yayasan-yayasan yang diketuai kedua orangtua mereka, untuk "belajar dalam rangka kegiatan sosial," kata Suharto, sebagaimana dikutip dalam Warta Ekonomi, 29 Oktober 1990 (hal. 29). Sigit Harjojudanto dan Indra Rukmana, ia dudukkan dalam pengurus Yayasan Dharmais, sementara Tommy dan Bambang Trihatmodjo, di Yayasan Dakab. Tutut dijadikan bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, sementara Bambang dijadikan Bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 29; Info-Bisnis , Juni 1994: 9, 15; Suara Independen , Jan.-Febr. 1996; D & R , 14 Juni 1997).

Dalam kelompok ketiga di mana Sudwikatmono ikut aktif, termasuk :
(18) Yayasan Prasetya Mulya
(19) Yayasan Bangun Citra Nusantara
(20) Yayasan Tujuh Dua
(21) Yayasan Indocement
dan (22) Yayasan Kyai Lemah Duwur.
Di samping itu, Sudwikatmono juga aktif dalam beberapa yayasan yang diketuai Suharto atau Nyonya Tien Suharto yang sudah disebut di atas, yakni Yayasan Dakab dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi.
Seperti kita ketahui, Yayasan Prasetya Mulya lebih dikenal melalui wajah Sofyan Wanandi, jurubicara yayasan itu. Namun ketua Dewan Penyantun yayasan yang beranggotakan 50 orang pengusaha raksasa itu sesungguhnya adalah Liem Sioe Liong. Di samping bertujuan menyalurkan dana dari konglomerat-konglomerat ke dunia pendidikan dan organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), yayasan ini dikenal sebagai penyalur aspirasi para konglomerat, melalui jurubicaranya tadi (Soetriyono, 1988: 26, 98; Forum Keadilan, 1 Sept. 1994: 33).
Yayasan Tujuh Dua adalah pemegang saham PT Media Bintang Indonesia, yang merupakan kerjasama antara Sudwikatmono dan partner dekatnya, Benny Suherman, dengan kelompok Ciputra (melalui Ir. Piek Mulyadi). Mereka dengan lihai memanfaatkan pembreidelan tabloid Monitor dengan membajak 23 orang bekas staf tabloid itu untuk menciptakan kelompok media hiburan Sudwikatmono sendiri, yakni kelompok Subentra Citra Media. Kelompok ini mencakup tabloid Bintang , majalah Sinar , tabloid hiburan anak-anak Fantasi, serta tabloid mingguan Dangdut.

Begitu Arswendo Atmowiloto selesai menjalankan masa hukumannya, ia ditarik oleh Sudwikatmono untuk bergabung dengan kelompok bisnis medianya itu, dengan diberi 5% saham dalam perusahaan penerbit tabloid Bintang. Tak ketinggalan Noor Slamet Asmoprawiro, juga diberi 10 % saham dalam perusahaan itu. Maklumlah, almarhum adalah adik Harmoko, yang masih Menteri Penerangan waktu itu (Tambahan Berita Negara No. 147/1991 dan No. 2772/1993; Jakarta-Jakarta , 25 Sept.- 1 Okt. 1993: 81; Editor , 18 Nov. 1993: 58; Warta Ekonomi, 5 Juni 1995: 65; Swa , 28 Maret-9 April 1997: 92).
Sedangkan Yayasan Bangun Citra Nusantara bergerak di bidang perfilman (Swasembada [Swa ], 9-29 Mei 1996: 40). Seperti yang kita ketahui, PT Suptan Film milik Sudwikatmono dan Benny Suherman praktis menguasai semua jenis film impor. Pada mulanya perusahaan itu hanya mengimpor film Mandarin, namun kemudian mereka berhasil memaksa tiga asosiasi film asing masuk ke bawah satu atap, yakni Asosiasi Importir Film (AIF) yang mereka kuasa (Prospek , 31 Agustus 1991: 90).

Adapun Yayasan Indocement yang juga dipimpin oleh 'dwitunggal' Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono, tidak cuma membiayai dan mengelola sejumlah SD, SMP dan SMA di sekitar pabrik-pabrik semen PT Indocement Tunggal Prakarsa di daerah Citeureup (Bogor) dan Palimanan (Cirebon), tapi juga menyumbang buku dan beasiswa untuk siswa dan mahasiswa di tujuh provinsi (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) serta kedua koloni kita (Timor Leste dan Papua Barat) (Gatra , 5 Agustus 1995, Pariwara, hal. 7).

Sedangkan Yayasan Kiyai Lemah Duwur adalah yayasan yang dibentuk oleh para pimpinan kelompok Salim untuk mengambil hati rakyat Madura, dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi, Universitas Bangkalan. Seperti kita ketahui, Salim tadinya berniat membangun pabrik semen di Madura. Sebelum rencana itu secara resmi dibatalkan, Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono duduk di Dewan Penyantun Yayasan Kiyai Lemah Duwur, sementara Anthony Salim, putera mahkota kelompok Salim, duduk sebagai Badan Pelaksana yayasan itu (Soetriyono, 1988: 119-120).

Kelompok keempat, saking banyaknya, perlu dibagi lagi dalam enam sub-kelompok. 
Sub-kelompok pertama adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau didominasi Tutut, yakni : 
(23) Yayasan Tiara Indonesia
(24) Yayasan Dharma Setia
(25) Yayasan Kebudayaan Portugal-Timor
(26) Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae
dan (27) sebuah yayasan pendidikan tinggi di Dili (InfoBisnis, Juni 1994: 13; Kompas , 28 Juni 1994; Jawa Pos , 3 Juni 1995;Republika, 20 April 1995; Matebean, 12 Jan. 1998)
(28) Yayasan TVRI
serta (29) Yayasan Tri Guna Bhakti.
Lalu, sub-kelompok kedua adalah : yayasan-yayasan yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo atau isterinya, Halimah, yakni : 
(30) Yayasan Bhakti Nusantara Indah, alias Yayasan Tiara Putra, yang dipimpin Tutut bersama Halimah (Indonesia Business Weekly, 25 Nov. 1994)
(31) Yayasan Bimantara
(32) Yayasan Bhakti Putra Bangsa 
dan (33) Yayasan Intinusa Olah Prima yang diketuai Bambang sendiri
serta (34) Yayasan Ibadah dan Amalyah Bimantara Village, yang diketuai oleh Rosano Barack (Cano), salah seorang pemegang saham utama kelompok Bimantara.
Yayasan-yayasan yang dikuasai Tutut, Bambang, dan Halimah: -------------------------------------------------------------------- Yayasan TVRI, walaupun resminya selalu diketuai oleh Menpen, namun secara praktis dikuasai oleh Tutut bersama Bambang. Tutut menguasai Yayasan TVRI lewat TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), yang bisa dengan seenak perutnya berhutang sedikitnya Rp 6 milyar biaya iklan pada (Yayasan) TVRI, serta lebih dari Rp 100 milyar ke rumah-rumah produksi yang sudah atau terancam bangkrut (Prospek, 6 Maret 1993: 18; Sinar, 4 Febr. 1995: 37; Forum Keadilan, 17 Juli 1995: 109; Gatra, 3 Febr. 1996: 106; Swa, 9-22 Okt. 1997: 90-92).


Bambang menguasai Yayasan TVRI lewat PT Mekatama Raya, yang sejak Februari 1992 diberi hak mengutip iuran TVRI dari pemilik televisi a/n Yayasan TVRI melalui suatu kontrak selama 15 tahun (Prospek, 7 Maret 1992: 68). Tak jelas bagaimana pertanggungjawaban uang hasil kontrak selama 7 tahun yang lalu, suatu bentuk monopoli keluarga Suharto yang pernah dipersoalkan oleh Ketua DPR/MPR waktu itu, Jenderal (Purn.) Kharis Suhud (Borsuk, 1992). Makanya dia tidak dipilih kembali menjadi anggota DPR.
Setelah Harmoko digantikan oleh Hartono, Yayasan TVRI tetap berfungsi sebagai pencetak uang bagi Tutut dan Bambang. Bahkan Hartono berjanji akan menggunakan tenaga militer untuk mengutip uang iuran TVRI bagi yayasan ini (Strait Times, 21 Agustus 1997).
Yayasan Tri Guna Bhakti, masih ada kaitan dengan Tutut. Yayasan ini didirikan awal 1996 oleh sejumlah ulama NU yang berhasil dirangkul oleh Tutut dan teman dekatnya, Jenderal Hartono. Ketuan yayasan ini adalah Drs KH Abd. Wahid Zaini, S.H. pimpinan pondok pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, yang masih keluarga jauh Hartono. Jenderal Hartono sendiri menjadi pelindung, sedangkan Tutut menjadi pembina yayasan ini (Tiras, 28 Maret 1996: 73).
Sudah dapat diperkirakan bahwa yayasan ini sekaligus berfungsi untuk menetralisasi suara-suara tidak puas terhadap pembebasan tanah serta polusi PLTU Paiton I yang sedang dibangun Hashim Djojohadikusumo di daerah Paiton. Yang jelas, ketika mertua Tutut meninggal dunia, yayasan ini ikut memasang iklan dukacita yang cukup menonjol di harian Jawa Pos, 7 Maret 1996.

Yayasan Intinusa Olah Prima mengelola klub anak-anak gawang Merdeka Boys Football Association (MBFA), yang baru saja diambil alih oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, Bambang Trihatmodjo, dan Yapto Suryo Sumarno tanggal 27 Mei 1997. Konon maksudnya adalah untuk membantu memajukan sepakbola nasional, melalui pembibitan pemain-pemain baru lewat pelatihan anak-anak gawang tersebut. Niat ini timbul, setelah sukses Johannes Kotjo lewat perusahaan Van der Horst yang dimilikinya di Singapura, untuk membantu Klub Ballestier Central lewat penyuntikan dana sebesar US$ 225.000 (Tiras , 9 Juni 1997: 65-66).
Akhirnya, Yayasan Ibadah dan Amaliyah Bimantara Village, yang diketuai oleh Cano, adalah wahana Bambang Trihatmodjo dkk untuk mengambil hati umat Islam, lewat pembangunan perumahan rakyat yang dapat dianggap Islami. Salah satu proyeknya adalah "Villa Islami" di Karawaci, Tangerang, yang terdiri dari 1200 rumah di atas lahan seluas 104 hektar. Turut meresmikan kompleks perumahan rakyat itu adalah Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir Akbar Tanjung, serta Ketua Umum DPP REI (Real Estate Indonesia), Edwin Kawilarang (Ummat , 9 Des. 1996: 78)..............bersambung (to be continued)

Posted by: Jason alexander 12:46 PM

No comments:

Post a Comment