(Dicari FREE WRITER, info selengkapnya, klik PENGUMUMAN.)

2012/08/02

KERAKUSAN $OEHARTO DAN KELUARGANYA (III)

Oleh George J. Aditjondro

Misalnya, Bank Windu Kencana, prakteknya adalah kongsi (joint venture ) antara Kostrad dan Liem Sioe Liong, walaupun menurut akte notarisnya adalah milik YDP Kostrad, Yayasan Trikora, dan Yayasan Jayakarta. Pabrik perakitan Volkswagen, yang dirampas Kostrad dari Piola Panggabean, dan berganti nama menjadi PT Garuda Mataram, adalah kongsi antara Kostrad dan kelompok Mantrust. Bahkan dalam PT Toyota Astra Motors, agen tunggal mobil Toyota di Indonesia, YDP Kostrad memiliki 7,5% saham. Juga dalam agen sepeda motor Honda, PT Federal Motors yang anak perusahaan Astra juga, YDP Kostrad punya saham (Tambahan Berita Negara RI tgl. 18 Juni 1968 No. 49; Shin, 1989: 258-261, 266, 335, 411; Robison, 1990: 262-263, 282, 288; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 27).

Lama-lama, Sofyan mulai mengembangkan kelompok perusahaan yang didominasi keluarga Wanandi, yang lebih dikenal dengan nama kelompok Gemala, yang di tahun 1993 terdiri dari 32 perusahaan dengan omset lebih dari Rp 1,2 trilyun setahun (Prospek , 13 Agustus 1994: 20). Perusahaan-perusahaan Kostrad sendiri semakin terlantar, apalagi setelah VW semakin disaingi mobil-mobil Eropa, AS, Jepang, dan Korea yang diageni kelompok Salim serta bisnis keluarga Suharto yang lain (Chalmers, 1988).
Dalam dasawarsa terakhir, kelompok Nusamba dan bisnis keluarga besar Suharto lainnya mulai masuk menguasai berbagai perusahaan yang dulu didominasi Kostrad. Di tahun 1970, akte notaris PT Bogasari menentukan bahwa 26% keuntungan pabrik penggilingan terigu itu harus harus dibagi rata antara YDP Kostrad dan Yayasan Harapan Kita. Tujuh tahun kemudian, akte notaris Bogasari direvisi. Nyonya Bustanil Arifin, yang masih kerabat Nyonya Tien Suharto dan suaminya masih Ketua Bulog waktu itu, masuk menjadi pemegang 21% saham Bogasari. Dialah yang berhak menentukan pembagian keuntungan pabrik terigu raksasa itu untuk yayasan-yayasan sosial. Jadi, lenyaplah "jatah" otomatis YDP Kostrad sebesar 13% itu (Shin, 1989: 268, 354).
Kemudian, seperti yang sudah disinggung di atas, maskapai penerbangan PT Mandala Airlines, kini dikuasai Nusamba (45%) dan Sigit Harjojudanto (15%), sehingga saham PT Dharma Putera Kencana (a/n YDP Kostrad) tinggal 40%. Mandala juga telah mengangkat Jenderal Wismoyo Arismunandar, adik ipar Nyonya Tien Suharto, sebagai Presiden Komisaris. Masuknya pemegang saham baru juga memperkuat otot operasi Mandala, dengan membeli dua pesawat Boeing 737 bekas milik maskapai penerbangan Jerman, Lufthansa (Indocommercial , 26 Jan. 1995: 1-2).
Kendati demikian, YDP Kostrad masih tetap bertahan sebagai pemegang saham sejumlah perusahaan lain yang tergolong basah, misalnya pabrik karung plastik Pertamina, PT Karuna, bersama dua yayasan TNI/AD yang lain (Prospek , 16 Febr. 1991: 9).
YDBKS, dari Sigit dioper ke Tutut: ---------------------------------------------------------- Akhirnya, dalam sub-kelompok keenam, adalah (49) Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBS), pengelola SDSB, yang dulu praktis dikuasai oleh Sigit Harjojudanto, putera Suharto yang tertua, dan kini dikuasai oleh Tutut sebagai Menteri Sosial yang baru.
Kita tentunya belum lupa bahwa hasil pemasukan keluarga Suharto dari berbagai lotere nasional, juga belum pernah dipertanggungjawabkan kepada rakyat banyak. Berbagai lotere nasional itu dikelola oleh YDBKS, yang resminya berada di bawah Menteri Sosial, tapi secara de facto dikuasai Sigit Harjojudanto bersama sejumlah pengusaha swasta tangan kanannya.

Tahun 1985, Sigit ikut mengelola Porkas, yang ditentang keras oleh pemerintah daerah Sumatra Barat dan DPRD Jawa Barat atas dasar agama. Waktu itu, kecaman-kecaman ke alamat Porkas sekedar dibungkam oleh pemerintah pusat dengan dalih bahwa Porkas bukan judi.
Sigit pun bebas meraih keuntungannya. Dua orang pengusaha muda yang ikut terlibat dalam pengelolaan dana Porkas, Robby Tjahjadi (yang baru bebas dari penjara karena menyelundupkan puluhan mobil mewah) dan kawan sekolahnya di Solo, Robby Sumampouw, juga semakin semarak bisnis mereka sesudah Porkas dihapus. Robby Tjahjadi membangun kerajaan tekstil Kanindo-nya, sementara Robby Sumampouw, dengan backing Benny Murdani, memonopoli bisnis kopi di Timor Leste.
Bukan cuma itu. H.M. Jusuf Gading, Dirjen Bantuan Sosial Departemen Sosial (1972-1979), pencetus Undian Harapan pendahulu Porkas, mendapat "promosi" tak langsung dari keluarga Suharto. Seorang anaknya, Irvan Gading, menjadi salah satu partner bisnis Tommy Suharto, yang kebetulan juga bekas teman sekolahnya. PT Gading Mandala Utama (GMU), dengan Tommy sebagai presiden komisaris dan Irvan sebagai presiden direktur, menjadi agen tunggal alat-alat berat bagi Departemen PU, bekerjasama dengan kelompok Arthayasa milik Rafiq Radinal Muchtar, anak Menteri PU waktu itu. Belum lagi bisnis lain dari GMU, yang merupakan satu sub-kelompok dalam konglomerat Humpuss (Shin, 1989: 248; Wibisono, 1994; Aditjondro, 1994: 57-62; Prospek , 6 Maret 1993: 18-21, 19 Febr. 1994: 56-57;Indonesia Business Weekly , 11 Maret 1994: 10;Warta Ekonomi , 20 April 1992: 23).
Setelah Porkas dibubarkan, Sigit terlibat lagi dalam pengelolaan lotere SDSB, bersama Robby Sumampouw, Henry Pribadi, dan Sudwikatmono. Walaupun SDSB kemudian dibubarkan juga, akibat kencangnya demonstrasi-demonstrasi umat Islam dan aktivis mahasiswa, uang yang terkumpul juga belum pernah dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Malah sebaliknya, Sigit dengan tenang menggunakan bagiannya untuk membangun hotel berbintang lima Bali Cliff Resort seharga US$ 50 juta di Bali. Sementara itu, bisnis para co-manager dana SDSB, juga berkembang dengan pesat. Robby Sumampouw, partner Sigit dalam pengelolaan Porkas maupun SDSB, yang juga pernah membantu Tommy mengelola BPPC, menanam keuntungannya dalam kasino raksasa di Pulau Christmas, Australia. Kawan baiknya, Tommy Suharto, pun sering berjudi di kasino senilai hampir 40 juta dollar AS itu, di mana perusahaannya, Sempati Airlines, menikmati monopoli penerbangan dari/ke Jakarta.
Henry Pribadi, yang juga partner Bambang Trihatmodjo dalam proyek petrokimia Chandra Asri, perusahaan pemungut iuran televisi PT Mekatama Raya, stasiun televisi swasta SCTV, serta Bank Alfa bin Bank Andromeda, merupakan pengunjung setia kasino Crown di Melbourne, di mana ia pernah memasang taruhan satu juta dollar Australia dalam semalam (Borsuk, 1993; Aditjondro, 1994: 88-89, 1995: 1-2, 1996; Loveard, 1996: 38; Robinson, Hewitt dan Munro, 1997;Tempo , 28 Des. 1991; Gatra , 12 Okt. & 26 Okt. 1996).
Semuanya ini seolah-olah mendidik rakyat bahwa lotere itu halal, mencari untung berlimpah dari lotere juga halal, dan lalu menggunakan keuntungan hasil lotere itu untuk bermain judi juga halal. Ironisnya, seorang Sekjen PB NU terpaksa meletakkan jabatannya gara-gara menerima dana SDSB untuk kegiatan organisasinya, dan Pengurus Besar NU sendiri nyaris retak karena masalah itu.
Sementara itu, dana YDBKS terus beranak-pinak, dan mencari-cari tempat di mana dana itu dapat ditanamkan. Tahun 1994, lewat perantaraan Menpora Hayono Isman, Bendahara YDBKS, Wisnu Saputra, dipertemukan dengan Bendahara Yayasan Dharmais, Mayjen (Purn.) Hediyanto, untuk menyelamatkan Bank Arta Prima yang tadinya dikuasai Kosgoro. Itulah awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai skandal kredit Bank Arta Prima, yang menyebabkan seorang putera Mas Agung, Oka Mas Agung, dan Kim Johannes Mulia ditahan, dan nyaris menyeret Yayasan Dharmais dalam kemelut itu juga (Tiras , 2 Juni 1997: 92-95, 9 Juni 1997: 83-87; Suara Independen , Juli 1997).
Namun terlepas dari skandal BAP itu sendiri, anecdotal evidence ini menunjukkan bahwa Yayasan pengelola SDSB itu, sungguh-sungguh belum kosong kasnya. Nah, sebagai Menteri Sosial yang baru, Tutut kini secara ex officio menjadi boss YDBKS, yang keuangannya belum pernah dipertanggungjawabkan. Sebagai Menkes baru, Tutut dapat menghilangkan semua jejak pembukuan lotere-lotere yang sudah dibubarkan tanpa banyak kesulitan, sambil menggunakan YDBKS sebagai "kapal keruk" duit yang baru.
Yayasan para besan dan kerabat di kampung: -------------------------------------------------------------- Kemudian dalam kelompok yayasan para besan dan keluarga, tercatat 
(50) Yayasan Pembangunan Jawa Barat
(51) Yayasan 17 Agustus 1945
dan (52) Yayasan Pendidikan Triguna yang ketiga-tiganya berafiliasi ke mendiang Eddi Kowara Adiwinata, ayah mertua Tutut, serta Nyonya Eddi Kowara (iklan dukacita Suara Merdeka, 23 Jan 1995 & Jawa Pos, 7 Maret 1996)
(53) Yayasan Pralaya Loka, yang diketuai Nyonya Dora Sigar-Djojohadikusumo, yang berniat mendirikan krematorium tercanggih di Indonesia, di Cikarang, Jawa Barat (Kontan, 23 Juni 1997)
(54) Yayasan Dana Mitra Lingkungan (Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 31)
serta (55) Yayasan Balai Indah yang diketuai Hashim Djojohadikusumo, yang dibentuk untuk menggalakkan ekspor barang dan jasa Indonesia ke negara-negara bekas Uni Soviet.
Yayasan Dana Mitra Lingkungan, yang dirintis oleh Profesor Sumitro Djojohadikusumo, paling dikenal di lingkungan organisasi non-pemerintah (ornop), terutama ornop lingkungan seperti WALHI, karena rajin memberikan bantuan buat kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan, yang tidak mengarah pada oposisi terbuka pada rezim Suharto. Sumber dananya kebanyakan perusahaan-perusahaan multinasional yang berasal dari negara-negara Barat, seperti PT BAT (British American Tobacco), Caltex, dan lain-lain.
Dalam kelompok yayasan para kerabat suami-isteri Suharto-Nyonya Tien Suharto di Solo dan Yogya, termasuk :
(56) Yayasan Mangadeg
(57) Yayasan Pendidikan Grafika
dan (58) Yayasan Kesejahteraan dan Sosial Sahid Jaya, yang ketiganya diketuai oleh Sukamdani Gitosarjono, seorang sepupu Nyonya Tien Suharto
(59) Yayasan Suryasumirat
(60) Yayasan HIPMI Jaya
(61) Yayasan Kinasih
serta (62) Yayasan Kemusuk Somenggalan yang dikelola sanak-saudara Suharto di Dukuh Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Soal Yayasan Mangadeg dan Yayasan Kemusuk Somenggalan akan dijelaskan di bagian tersendiri, jadi marilah kita tinjau yayasan-yayasan kaum kerabat Suharto yang lain.
Yayasan Kesejahteraan dan Sosial Sahid Jaya, dibentuk dan diketuai oleh Sukamdani Gitosarjono untuk mengelola Universitas Sahid dan Akademi Perhotelan Sahid, serta membantu beberapa perguruan tinggi lain di Indonesia (InfoBisnis , Juli 1994: 13).
Yayasan Suryasumirat adalah badan hukum yang melalui Keppres No. 7 Th. 1991, mendapat rezeki nomplok berupa sebagian kekayaan dana milik Puro Mangkunegaran.

Berdasarkan Keppres itu, yayasan ini ditugaskan mengelola aset Mangkunegaran. Termasuk dana Rp 3 milyar yang dihibahkan pemerintah kepada kaum kerabat keraton, dari mana Nyonya Tien Suharto berasal. Dana itu disimpan dalam bentuk deposito atas nama yayasan itu di bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dalam Keppres itu juga ditegaskan bahwa yayasanlah yang berhak mengelola dan memanfaatkan seluruh hasil deposito tersebut.
Menurut Agus Sudono, bekas ketua FBSI, yang menjabat sebagai Ketua Harian Yayasan Suryasumirat, dana hibah dari pemerintah itu disimpan di BDN Manggala Wanabakti, Jakarta. Yayasan ini memanfaatkan bunga simpanan sebagian besar (65%) untuk membiayai Puro Mangkunegaran, 5% untuk keperluan Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryasumirat (HKMNS), 12% untuk biaya operasional Yayasan Suryasumirat, dan 18% untuk cadangan keperluan mendadak. Pengeluaran terbesar, menurut Agus Sudono, adalah untuk membiayai pengelolaan Puro Mangkunegaran, yakni rata-rata Rp 17,5 juta per bulan. Itu hanya untuk menggaji para karyawan, dan belum termasuk honor Sudjiwo, sebagai pengageng puro (Sinar , 19 Sept. 1994: 27).
Yayasan HIPMI Jaya, adalah yayasan yang dibentuk para pengurus dan bekas pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia cabang Jakarta Raya. Di sana termasuk putera keempat Sukamdani Gitosardjono, Haryadi Budisantoso Sukamdani, 43, yang biasa dipanggil "Aik". Yayasan ini termasuk salah satu pemegang saham PT Info Jaya Abadi, penerbit majalah Info Bisnis .
Sebelum punya SIUPP, majalah bisnis yang waktu itu langsung diterbitkan oleh HIPMI Jaya sudah beredar bebas di toko buku dan agen koran & majalah di kota-kota besar di Indonesia, walaupun Info Bisnis merupakan majalah intern HIMPI Jaya. Peredaran secara komersial ini bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang penerbitan khusus yang hanya punya STT (Surat Tanda Terdaftar), dan banyak majalah mahasiswa dan ornop yang telah ditegur dan dicabut STT-nya karena dianggap melanggar peraturan ini.
Bulan April 1995, setelah PT Info Jaya Abadi terbentuk, majalah itu memperoleh Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Kontan penerbit majalah Info Bisnis itu menjual sahamnya kepada keluarga besar HIPMI, tanpa mencatatkan sahamnya di Badan Pengawas Pasar Modal (Bappepam) (Kompas , 10 April 1995; Forum Keadilan , 29 Sept. 1994: 83). Hal ini juga bertentangan dengan peraturan pemerintah. Namun presedennya sudah ada, yakni penjualan saham penerbit harian Republika kepada semua orang (Muslim) yang berminat. Termasuk Suharto. Selain itu, pejabat mana yang berani, atau mau menegur penerbit majalah Info Bisnis itu, yang hampir semuanya termasuk pengusaha anak pejabat?
Selanjutnya, Yayasan Kinasih. Yayasan ini patut dicatat sebagai instrumen tak langsung Suharto untuk memelihara simpati umat Nasrani. Resminya yayasan ini milik Radius Prawiro, yang masih saudara sepupu Nyonya Tien Suharto. Yayasan yang sehari-hari dikelola oleh Nyonya Radius Prawiro, memiliki perkebunan anggrek di Ciawi, Bogor, peternakan di Jawa Timur, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Widuri, dan Wisma Kinasih di Jawa Barat (Warta Ekonomi , 29 Okt. 1990: 27; sumber-sumber lain).
Karena kedekatannya dengan para pengurus Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Wisma Kinasih sering menjadi tempat penyelenggaraan pertemuan-pertemuan DGI, yang kemudian berganti nama menjadi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Wisma Kinasih juga cukup dikenal oleh civitas academica berbagai universitas Kristen di Indonesia, di mana Radius duduk sebagai anggota atau pimpinan dewan penyantunnya.
Radius-lah yang berjasa "menyelamatkan" Sinar Harapan dari tangan-tangan Harmoko, Sudwikatmono, Titiek Prabowo, dan Bambang N. Rachmadi (menantu Sudharmono), ketika burung-burung kondor itu memperebutkan bangkai harian Kristen itu, setelah dibreidel oleh Menpen Harmoko, tanggal 9 Oktober 1986 (Byrnes, 1986; sumber-sumber lain).
Toh Radius, yang belakangan ini dipakai lagi oleh Suharto dalam ofensif diplomasi terhadap Blok Barat, hanya dapat bergerak sejauh direstui oleh suami saudara sepupunya. Misalnya, dalam kemelut pemecatan Arief Budiman di Universitas Kristen Satya Wacana, anggota kehormatan Badan Pengurus YPTKSW itu tak mampu memaksa pengurus Satya Wacana mencabut pemecatan perintis Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW itu.
Soalnya Radius tidak akan mau melakukan apa-apa yang dapat menyulitkan bisnis anak-anaknya, padahal Arief Budiman waktu itu terkenal sebagai pengritik konglomerat paling top di UKSW, di mana Mochtar Riady, boss Lippo Group duduk di badan pengurus yayasan perguruan tinggi swasta itu.
Maklumlah, konglomerat Kariza Group milik ketiga anaknya, Baktinendra, Tri Putra Yusni, dan Pingkan Riani Putri, yang sudah punya aset sebesar Rp 100 milyar di tahun 1993. Sebagian partner bisnis anaknya adalah juga partner bisnis anak-anak Suharto. Misalnya, perkebunan tebu PT Naga Mas seluas 25 ribu hektar di Kabupaten Gorontolo, Sul-Ut, dikelola oleh Bakti Prawiro, berkongsi dengan Prajogo Pangestu, kawan bisnis Tutut dan Bambang.

Sementara itu, Ria Prawiro adalah komisaris PT Perdana Inti Investama, di bawah PresKom Johannes Kotjo, bekas manajer top kelompok Salim yang kini memutar sebagian bisnis Bambang Trihatmodjo. Aset total perusahaan pialang bursa saham itu tahun 1996 sudah bernilai Rp 0,6 trilyun. Ria juga direktur PT Kariza Indalguna, pemegang hak waralaba perusahaan pengelola konferensi internasional, Carrol Partners International. Dalam kapasitas itu ia sudah biasa bergaul dengan para pengusaha top dan kepala negara di kawasan Asia-Pasifik (IEFR, 1997: 444-445; Prospek , 6 Maret 1993: 20; Indonesia Business Weekly , 18 Juni 1993;Suara Independen , Juli 1995: 22; Down to Earth , Agustus 1997: 15).
Yayasan-yayasan yang dikuasai Suharto melalui Habibie, Bob Hasan, dan Sudomo: ---------------------------------------------------------------------------- ------------------------- Last but not least, dalam kelompok ketujuh termasuk yayasan-yayasan yang kini dikuasai secara tidak langsung oleh Suharto melalui Wakil Presiden B.J. Habibie, lewat tiga jalur: ICMI, para alumni Jerman, Sulawesi, dan Batam. Pertama, lewat ICMI, yang mungkin sebentar lagi akan mengganti Ketua Umumnya dengan seseorang yang direstui Habibie, Suharto menguasai (63) Yayasan Abdi Bangsa, pemilik PT Abdi Bangsa yang menerbitkan harian Republika dan majalah Ummat, di mana Haji Muhammad Suharto menjadi pelindung (Prospek, 19 Des 1992: 34), (64) Yayasan Amal Abadi Beasiswa Orangtua Bimbing Terpadu (ORBIT) yang diketuai dr. Nyonya Hasri Ainun Habibie, dan (65) Yayasan Dompet Dhuafa Republika.
Peranan dan kekayaan kedua yayasan terakhir ini tak dapat diremehkan, dan sangat terkait dengan yayasan-yayasan yang dikuasai Suharto secara langsung. Di kalangan wartawan Muslim di Jakarta, Yayasan Orbit cukup dikenal, karena dengan rekomendasi yayasan itu, mereka dapat memperoleh potongan harga tiket pesawat dan berbagai kemudahan lain.

Di awal 1996, Yayasan Orbit telah berhasil mengisi kocek yayasannya sejumlah Rp 2 milyar, dengan menggaet fulus dari semua bank pemerintah (Bapindo, BRI, Bank Exim, BDN, BBD, BTN, dan BNI 46), serta sejumlah bank swasta, yakni Bank Anrico (yang baru saja dibubarkan), Bank Bukopin, Bank Intan, Bank Muamallat, Bank Nasional, Bank Nusa, dan Bank Papan Sejahtera. Di awal 1996 itu, kerjasama sedang dijajaki dengan 10 bank swasta lain, seperti Bank Angkasa, Bank Duta, Bank Danamon, Bank Dwipa, BCA, BII, Bank Lippo, Bank Universal, Bank Victoria, dan Bank Umum Nasional (Jawa Pos , 24 April 1996; Forum Keadilan , 1 Jan. 1996: 107).
Seperti yang kita ketahui, BCA, Bank Danamon, Bukopin, Bank Duta, BUN, Bank Papan Sejahtera, dan Bank Universal, dikuasai oleh klik Suharto melalui keluarga Liem Sioe Liong, tiga anak Suharto (Tutut, Sigit, dan Titiek), Bob Hasan, dan keluarga Djojohadikusumo. Makanya, akan semakin banyak tumpah tindih kekayaan yayasan Suharto yang satu dengan yan lain, melalui kegiatan pencarian dana Yayasan Orbit ini.
Yayasan Dompet Dhuafa Republika, lebih kaya lagi, karena di tahun 1996 yayasan ini telah berhasil meraup fulus sebesar Rp 4 milyar dari sejumlah donor. Tak dijelaskan siapa saja donor yayasan ini (Forum Keadilan , 8 Sept. 1997: 97).
Kekuasaan Habibie -- sebagai tangan kanan Suharto -- di yayasan-yayasan ICMI sangat besar. Dialah yang mencoret Parni Hadi dari jabatan Direktur Produksi PT Abdi Bangsa, dan menggolkan Beddu Amang yang juga Bendahara ICMI dan Ketua Presidium KAHMI (Keluarga Alumni HMI), menjadi komisaris perusahaan penerbit harian Republika itu. Dengan demikian, klik pendukung Suharto di lingkungan ICMI juga semakin solid. Sebab Beddu Amang juga komisaris perusahaan keluarga Bustanil Arifin, PT Bormindo Nusantara, bersama A.R. Ramly yang juga salah seorang komisaris PT Astra International (Jakarta Post, 18 Febr. 1994;Forum Keadilan , 8 Sept. 1997: 97).
Kemudian, lewat Habibie sebagai patron dari para sarjana lulusan Jerman, Suharto akan semakin kuat mempengaruhi (66) Yayasan Bina Bhakti (YBB). Yayasan ini didirikan di bulan Oktober 1977 oleh para alumni Jerman, yang pada awalnya bertujuan membantu realisasi program re-integrasi. "Untuk mempermudah mahasiswa kita yang studi di Jerman mengabdikan dirinya untuk negara, sekembalinya ke tanah air," begitu ujar Lilik D. Susbiantoro, Ketua Dewan YBB pada majalah Prospek , 6 Oktober 1990.
Dalam upaya membantu proses reintegrasi itu, YBB menyajikan sejumlah tawaran bagi para alumni Jerman. Antara lain, menghubungkan mereka dengan perusahaan atau instansi yang membutuhkan mereka. Lantas, ada pula Business Circle , yang menurut Faisal Djalal, ketuanya, merupakan wadah para alumni Jerman yang terjun ke dunia wiraswasta (Prospek , 9 Okt. 1990: 33).
Lalu, lewat Habibie sebagai putera Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara, Suharto dapat meraih simpati masyarakat propinsi itu lewat (67) Yayasan Pengembangan Wallacea. Yayasan ini, selain didukung Habibie, juga didukung kelompok bisnis Ibnu Sutowo, yang juga menjadi ketua umum yayasan itu. Salah satu "proyek" yayasan ini adalah pendirian Universitas di ibukota kabupaten Bolaang-Mongondow, untuk dijadikan pusat riset kawasan fauna dan flora Wallacea yang terwakili di Taman Nasional Nano Bogane Wartabone seluas 325 ribu hektar (Teknologi, Des. 1994: 74; sumber-sumber lain).
Akhirnya, lewat kekuasaan keluarga Habibie di Pulau Batam, keluarga Suharto juga dapat 'kecipratan' monopoli pengelolaan rumah sakit dan sekolah-sekolah di pulau itu.
Posted by: Jason alexander 1:37 PM

No comments:

Post a Comment