(Dicari FREE WRITER, info selengkapnya, klik PENGUMUMAN.)

2012/08/02

KERAKUSAN $OEHARTO DAN KELUARGANYA (IV)

Oleh George J. Aditjondro
Monopoli tidak resmi ini dipegang oleh (68) Yayasan Keluarga Batam, yang diketuai Nyonya Sri Rejeki Habibie, adik B.J. Habibie yang menikah dengan Mayor Jenderal (Purn.) Sudarsono Dharmo-suwito. Bekas kepala BIDA (Batam Industrial Development Authority) yang bernaung di bawah Otorita Batam dari tahun 1978 s/d 1988, yang masih menjabat sebagai Ketua KADIN Batam dan secara politis berkuasa melebihi Camat.
Ketua Otorita Batam sendiri, sejak B.J. (Rudy) Habibie diangkat menjadi Wakil Presiden, dilimpahkan kepada adiknya, J.E. (Fanny) Habibie. Bekas Dubes RI di London itu sebelumnya menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Laut di masa tragedi Tampomas II tahun 1981, yang menenggelamkan sekurang-kurangnya 800 orang (Tempo, 21 Febr, 1981: 13;Kompas , 27 Maret 1998; sumber-sumber lain).

Kekuasaan yayasan-yayasan yang diketuai atau didominasi Habibie penting diketahui untuk memantau kekayaan keluarga Habibie dan Suharto. Soalnya, kekayaan kedua keluarga itu banyak bertumpang-tindih di Batam dan beberapa pulau Riau lainnya, termasuk dalam PT Sinar Culindo Perkasa yang mengekspor babi hidup ke Singapura, maupun di luar Batam di mana Tutut berkongsi dengan Timmy Habibie, adik laki-laki Rudy Habibie yang termuda, dalam bisnis telekomunikasi dan pemetaan udara.
Kelompok Timsco pimpinan Timmy Habibie, yang berkongsi pula dengan kelompok Bimantara, Salim, dan Sinar Mas dalam sejumlah industri kimia sudah punya omset Rp 640 milyar di tahun 1995. Isteri Fanny Habibie adalah seorang pemegang saham utama PT Timsco, sementara anak-anak dan beberapa orang saudara kandung Rudy Habibie menguasai saham sejumlah anak perusahaan Timsco.
Kekuasaan keluarga Habibie atas peluang-peluang bisnis di Pulau Batam dan IPTN kini sudah 'menurun' ke generasi kedua. Thariq Kemal Habibie, putera bungsu Rudy Habibie, sudah menjadi presiden direktur konglomerat keluarga Habibie yang kedua, yakni Repindo Panca Group, yang berkantor pusat di Jakarta dengan cabang di Braunschweig, Jerman. Bersama saudara sepupunya, Harry Sudarsono, Thareq telah membangun Hotel Melia Panorama di Pulau Batam.
Selain itu, Thareq juga telah mendapat kepercayaan IPTN dan sejumlah konglomerat swasta untuk memimpin PT Prodin, yang punya spesialisasi menyelenggarakan pameran-pameran dagang produk Indonesia, khususnya pesawat terbang (Wibisono, 1995; Smith, 1996; Hiscock, 1998; Company Profile Repindo Panca Group 1994;Warta Ekonomi , 23 Jan. 1995: 28;Forum Keadilan , 31 Juli 1995: 92; Target , 25 Juni-1 Juli 1996: 22-23; Tajuk , 1 Agustus 1996: 51).
Kemudian, ada yayasan-yayasan yang kini dikuasai secara tidak langsung oleh Suharto lewat Bob Hasan, Menteri Perdagangan dan Industri. Bob Hasan sampai saat ini masih menjabat sebagai presiden komisaris PT Astra International, Inc., mewakili kelompok bisnis Nusamba. Karena itu Suharto melalui Bob Hasan, ikut berkuasa atas sepakterjang (69) Yayasan Toyota Astra Motor, yang memberikan beasiswa pada siswa dan mahasiswa, (70) Yayasan Dharma Bhakti Astra, yang juga bergerak di bidang pendidikan ditambah dengan bantuan bagi calon pengusaha, (71) Yayasan Dana Bantuan Astra, yang membantu anak putus sekolah, dan (72) Yayasan Dharma Satya Nusantara, yang membantu para perwira yang sudah pensiun (Shin, 1989: 346; Warta Ekonomi , 22 Juni 1992: 41).
Mengingat bahwa sejumlah perusahaan Astra sudah dihinggapi saham YDP Kostrad, posisi Bob Hasan di pucuk pimpinan Astra secara finansial ikut memperkuat posisi menantu Suharto, Letjen Prabowo Subianto yang kini jadi Panglima Kostrad -- mengulangi jejak mertuanya, 32 tahun kemudian. Sejarah dinasti Suharto telah menarik garis lingkaran penuh.
Bob Hasan jugs tidak akan begitu saja melepaskan kekuasaannya sebagai "raja hutan" lewat posisinya sebagai Ketua MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia), ketua Apkindo (Asosisasi Panel Kayu Indonesia), dan ketua Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia). Kalaupun ia melepaskan ketiga jabatan ketua itu, begitu pula jabatan presiden komisaris kelompok Kayumanis, dan menyerahkannya kepada kader-kader yang sudah dibinanya selama hampir 20 tahun, ia tak akan begitu saja melepaskan pengaruhnya terhadap ketiga asosiasi itu.
Di bawah pengaruh MPI, Apkindo, dan Asmindo adalah (73) The Indonesian Cultural Foundation, senjata Bob Hasan untuk melakukan counter propaganda melawan gerakan lingkungan sedunia. Yayasan itulah yang mensponsori presentasi satu tesis MA di bidang kehumasan tentang kampanye anti penggunan kayu tropis, karya Nia Sarinastiti Sukanto, puteri bekas Rektor UGM, Sukanto Reksohadiprodjo, dalam Konferensi Kehutanan Sedunia di Bandung, tahun 1992 (Forum Keadilan , 14 April 1994: 50-51).
Nah, dengan diformalkannya hubungan antara Suharto dan Bob Hasan, Suharto tidak perlu sungkan-sungkan untuk menggunakan yayasan itu menghadapi serangan para pencinta hutan Indonesia, di dalam negeri maupun di mancanegara.
Nyonya Pertiwi Hasan, isteri sang raja hutan, yang aktif memproyeksikan diri sebagai seniwati, juga punya satu yayasan, yakni (74) Yayasan Patria Mas Katulistiwa, untuk melaksanakan promosi kerajinan tangan Indonesia. Misalnya, bersama yayasannya itu ia menuguhkan paket "Bianglala Patria" dalam acara Pameran Kerajinan Tangan Indonesia di Pulau Kochi, Osaka, Jepang, tanggal 19-25 September 1995, dengan mencampilkan tari campuran dari berbagai daerah.
Namun selain promosi kerajinan, yayasan itu sekaligus berfungsi sebagai alat propaganda bagi Suharto. Misalnya, dalam acara Gebyar Indonesia dalam rangka ulangtahun RI yang ke-50, Pertiwi Hasan menggamit Budyiati Abiyoga untuk membuat sinetron berjudul Serangan Oemoem Satoe Maret . Maksudnya konon untuk menampilkan sisi lain dari sebuah perjuangan, yakni mereka yang aktif di dapur umum (Ummat , 2 Okt. 1995: 101). Tak pelak lagi, dengan pemilihan judul di atas orang juga mengerti, peranan siapa sebenarnya yang mau ditampilkan oleh sinetron itu.
Di bidang pers, Bob Hasan dan Harmoko telah membentuk (75) Yayasan Maju Bersama, yang mula-mula menerbitkan majalah dwi-mingguan di bidang olahraga, Sportif . Di situ Harmoko tercantum sebagai ketua yayasannya, sedangkan Bob Hasan sebagai pemimpin umum penerbitannya (Warta Ekonomi, 1 Agustus 1994: 23).
Seperti yang kita ketahui, setelah pembreidelan Tempo , Bob Hasan-lah yang kemudian, melalui PT Era Media Informasi (EMI), mendapatkan SIUPP dari Menteri Penerangan Harmoko waktu itu untuk menerbitkan majalah berita Gatra dengan memanfaatkan sebagian eks karyawan Tempo (Suara Independen , Sept. 1997). Kiat ini mirip dengan kiat Sudwikatmono membajak sebagian karyawan tabloid Monitor tempo hari lewat Yayasan Tujuh Dua.
Belum begitu jelas apakah saham Bob Hasan yang 20% dalam PT EMI, mewakili Yayasan Maju Bersama, atau salah satu di antara trio yayasan pemegang saham PT Nusamba. Tapi yang jelas, policy keredaksian majalah Gatra sudah terbukti jelas-jelas mengikuti his master's voice , sehingga yayasan mana yang diwakili, menjadi tidak begitu relevan lagi.
Akhirnya, kita jangan lupa seorang antek Suharto yang paling setia, yakni Laksamana (Purn.) Sudomo, bekas Wapangkopkamtib, bekas Menteri Tenaga Kerja, dan terakhir menjabat sebagai Ketua DPA. Hubungannya dengan Suharto adalah sejak zaman Operasi Mandala di Makassar, di mana Sudomo ikut membantu Suharto melakukan "kerja sambilannya" sejak di Semarang, yakni menyelundup.
Kita tentunya belum lupa, katebelletje Sudomo bagi Eddy Tanzil, yang kelompok Golden Key-nya sesungguhnya punya hubungan bisnis dengan Tommy Suharto, sebelum skandal kredit Bapindo yang Rp 1,3 trilyun itu diekspos oleh Arnold Baramuli. Bank BHS milik kakak Eddy Tanzil, Hendra Rahardja, juga punya hubungan bisnis dengan keluarga Suharto, karena seorang adik Nyonya Tien Suharto, Ibnu Hardjanto, duduk sebagai komisaris di bank itu.
Kembali ke Sudomo, lewat PT Pondok Indah Padang Golf, di mana Sudomo menjadi Presiden Komisaris, Sudomo memelihara hubungan bisnisnya dengan Sudharmono, Ibnu Sutowo, Syarif Thayeb, Ismail Saleh, Ali Said (alm.), Omar Abdalla (alm)., Sudwikatmono, Liem Sioe Liong, Anthony Salim, Henry Pribadi, Hendra Rahardja, Ciputra, Murdaya Widyawimarta, dan sejumlah pengusaha lain (Prospek , 22 Febr. 1992: 76; data komposisi pemilik dan direksi PT Pondok Indah Padang Golf).
Sebagai ketua Persatuan Golf Indonesia (PGI), Sudomo juga melindungi kepentingan para pengusaha lapangan golf dari kecaman para pemilik tanah serta para pegiat hak-hak rakyat, misalnya dalam kasus lapangan golf Rancamaya milik keluarga Yoga Sugama.
Selain itu, Bank Synergy yang baru berdiri tanggal 12 Mei 1993, dan luput dari dua kali pembabatan bank-bank swasta belakangan ini, ikut dimiliki keluarga Sudomo, melalui anaknya, Tini Sudomo (Warta Ekonomi, 10 Mei 1993: 68-70, 24 Mei 1993: 69).
Sambil menjabat sebagai Ketua DPA (karena Suharto melindunginya dalam kasus korupsi Bapindo itu), Sudomo masih memimpin dua yayasan, yakni (76) Yayasan Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia, dan (77) Yayasan Esok Penuh Harapan, yang tugasnya membantu para pedagang asongan yang digusur dari jalan-jalan raya oleh Sudomo dalam Operasi bernama sama (Eksekutif , Mei 1993: 99).
Lewat tangan kanannya ini, Suharto dapat menggunakan dua yayasan yang dipimpin Sudomo ini untuk memperbaiki nasib pedagang kecil, yang paling terhimpit oleh krisis moneter saat ini. Soalnya, kesetiaan Sudomo pada Suharto kembali terlihat, ketika dia baru-baru ini menyarankan agar ABRI mengambil sikap "tembak-di-tempat" terhadap para aktivis mahasiswa, yang sedang berusaha menembus barikade polisi dan tentara yang bermaksud membendung aksi-aksi mahasiswa di dalam wilayah kampus semata-mata (Sydney Morning Herald , 7 April 1998).
Tiga besar pertama: -------------------------- Dari 77 yayasan itu, mana yang paling kuat? Secara finansial, yang paling kuat adalah trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar, yang sering bergandengan dalam penguasaan saham sejumlah perusahaan raksasa. Sedangkan dua yayasan milik keluarga Suharto yang juga cukup besar nilai sahamnya dalam perusahaan-perusahaan raksasa dan juga sering bergandeng-tangan, adalah Trikora dan Harapan Kita.
Berikut ini daftar perusahaan yang sahamnya ikut dimiliki Dakab, Dharmais, dan Supersemar, sendiri atau bersama-sama (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 238; Smith, 1996;Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Forum Keadilan, 17 Juli 1995: 90-91; Swa, 30 Jan. -19 Febr. 1997: 16, 3-16 Juli 1997: 87; Suara Independen, Sept. 1997):

Majalah Gatra Bank Duta Bank Windu Kentjana Bank Umum Nasional (BUN) Bank Bukopin Bank Umum Tugu Bank Muamalat Indonesia (BMI) PT Multi Nitroma Kimia PT Indocement Tunggal Prakarsa PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba) PT Teh Nusamba PT Gunung Madu Plantations PT Gula Putih Mataram PT Werkudara Sakti PT Wahana Wirawan Wisma Wirawan PT Fendi Indah PT Kabelindo Murni PT Mc Dermott Indonesia PT Kalhold Utama PT Kertas Kraft Aceh PT Kiani Lestari PT Kiani Murni PT Sagatrade Murni
Itu baru daftar minimal. Sebab lewat PT Nusamba di bawah pimpinan Bob Hasan, trio yayasan itu menguasai sejumlah saham dalam sekitar 140 perusahaan yang kekayaannya ditaksir sebesar US$ 5 milyar (Business Week, 17 Febr. 1997: 16). Yang langsung dikelola Bob Hasan sekitar 30 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, kehutanan, perkebunan teh, pertambangan, pabrik kertas kemasan, produk metal, dan panas bumi (Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).
Kemudian, ada kongsi antara Bob Hasan dengan dua maskapai penerbangan yang dikuasai anak-anak Suharto. Dalam Sempati Airlines yang awalnya dikuasai Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD dan kini dikuasai Tommy, Nusamba menguasai 20% saham. Sedangkan dalam Mandala Airlines yang awalnya dikuasai Yayasan Dharma Putera Kostrad dan kini dikuasai Sigit, Nusamba menguasai 45% saham (Indocommercial, No. 122, 26 Jan. 1995: 2; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).
Termasuk dalam kelompok Nusamba pula adalah kelompok Tugu Pratama, hasil pembelian 35% saham anak perusahaan Pertamina, Tugu Hong Kong, oleh Nusamba. Sekarang, kelompok itu sudah mencakup 25 perusahaan, hasil diversifikasi dan kongsi dengan perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dan mancanegara. Kelompok ini memonopoli hampir seluruh asuransi ekspor kayu lapis yang dikuasai Bob Hasan, asuransi bisnis pertambangan dan penerbangan Pertamina, asuransi hotel-hotel kelompok Sahid, sebagian asuransi Garuda, dan seluruh asuransi satelit-satelit Palapa yang dikuasai Bambang Trihatmojo. Bambang sendiri duduk dalam Dewan Komisaris Tugu Jasatama Reasuransi Indonesia, anak perusahaan Tugu Pratama. Makanya tak mengherankan kalau PT Tugu Pratama Indonesia, induk kelompok Tugu, tahun 1996 meraih laba bersih Rp 90 milyar (Rustam, 1996/1997: 172; Eksekutif, Febr. 1994: 16-25; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 23-24, 30, 36-40).
Belakangan ini, bendera Nusamba semakin berkibar setelah merebut 4,7% saham PT Freeport Indonesia, Inc. serta 5 % saham PT Astra International. Jadi dapat dibayangkan keuntungan yang bakal mengalir ke kas ketiga yayasan Suharto itu dari tambang tembaga-emas-perak terbesar di Indonesia bernilai US$ 3 milyar, serta dari kelompok otomotif terbesar di Indonesia yang kekayaannya bernilai US$ 5,2 milyar (IEFR, 1997: 254; Wall Street Journal, 31 Jan. 1997; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 15, 22; Business Week, 17 Febr. 1997: 16-17; Asiaweek, 7 Maret 1997: 54-56).
Selain Bank Umum Tugu (kelompok Tugu Pratama), Nusamba juga menguasai empat bank swasta lain, yakni Bank Duta, Bank Umum Nasional (BUN), Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin), dan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kiprah Bob Hasan di perbankan ini dimulai tahun 1989, ketika Bob Hasan "dipercayai" Suharto untuk mengambilalih pimpinan Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) dari kelompok Bustanil Arifin. Sesudah kelompok Bob Hasan bercokol di Bukopin, tanggal 29 Juni 1993 diubahlah badan hukum bank itu dari koperasi menjadi perseroan terbatas (PT).
Posted by: Jason alexander 1:42 PM

No comments:

Post a Comment