(Dicari FREE WRITER, info selengkapnya, klik PENGUMUMAN.)

2012/08/02

KERAKUSAN $OEHARTO DAN KELUARGANYA (V)

Oleh George J. Aditjondro
Ini sempat menggugah peringatan Wakil Presiden Tri Sutrisno, yang menghimbau agar PT baru itu tidak meninggalkan prinsip-prinsip koperasi. Maklumlah, Bukopin didirikan tanggal 10 Juli 1970 oleh delapan induk koperasi -- termasuk Inkopad, Inkopal, Inkopol, dan GKBI -- serta Yayasan Bulog. Yang terakhir ini kemudian lebih berperan, karena Ketua Bulog, Bustanil Arifin, juga merangkap sebagai Menteri Koperasi, dan karena itu diangkat menjadi Presiden Komisaris Bukopin.
Peringatan Tri Sutrisno yang juga digarisbawahi pakar koperasi, Thoby Muthis, masuk akal. Sebab di bawah Muchtar Mandala, direktur baru anak buah Bob Hasan, Bukopin sudah bergeser dari akar-akar koperasinya, dan sangat bergantung pada Bulog, perusahaan keluarga KaBulog, Bustanil Arifin, serta kelompok Salim. Ini terbukti dari surat Muchtar Mandala tertanggal 28 Februari 1991 kepada Kepala Bulog yang bocor ke pers. Dalam surat itu Mandala minta pungutan Rp 1 untuk setiap kilogram padi yang dijual Bulog dan didepositokan di Bukopin, dinaikkan. Selain itu, ia juga minta tolong Bustanil menghubungkan Bukopin dengan BPPC yang baru berdirik.
Barangkali untuk membalas jasa Bukopin yang telah memberikan pinjaman Rp 18,5 milyar kepada PT Indocitra Finance, perusahaan leasing milik keluarga Arifin, Kabulog segera meneruskan surat itu kepada Gubernur Bank Sentral, Adrianus Mooy, dengan rekomendasinya sebagai Menteri Koperasi agar permintaan Bukopin diluluskan. Tapi Mooy menolak, sehingga Arifin kemudian minta tolong Liem Sioe Liong menyuntikkan dana ke bank koperasi itu. Liem pun segera mendepositokan Rp 15 milyar ke rekeningnya di Bukopin. Maklumlah, selain merupakan partner Christine Arifin, isteri Bustanil Arifin dalam penggilingan gandum Bogasari, Liem juga telah memperoleh berbagai fasilitas Bulog untuk kilang-kilang gula dan kedelenya.
Setelah Bob Hasan menggantikan Bustanil Arifin sebagai presiden komisaris, saham Nusamba ditingkatkan dari 6,08% menjadi 15,35%. Tak jelas berapa laba bersih bank ini. Yang jelas, di tahun 1994, aset bank itu telah mencapai Rp 1,7 trilun, 50% lebih tinggi ketimbang tahun sebelumnya. Dari seluruh aset Bukopin itu, Rp 1 trilyun lebih merupakan dana fihak ketiga (Schwartz, 1991; Forum Keadilan, 19 Agustus 1993: 22; Info-Bank, April 1995; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 16).
Dua tahun setelah mengambil-alih pimpinan Bukopin, Bob Hasan diminta Suharto mengambilalih pimpinan Bank Umum Nasional (BUN), yang sebagian besar sahamnya milik kelompok Ongko. Tak tanggung-tanggung, Yayasan Dakab bersama Dharmais mengambil-alih 50 % saham BUN. Laba bersih (sesudah dipotong pajak) bank ini tahun 1997 mencapai Rp 66,73 milyar (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380, 406; Swa, Okt. 1995: 60-61).
Di Bank Duta, yang berasal dari aset Haji Mohammad Aslam, seorang pengusaha yang dekat dengan Bung Karno dan ditahan dengan tuduhan PKI, trio Dharmais-Dakab-Supersemar merupakan pemegang saham terbesar. Tahun 1995, sesudah direksi bank itu dialihkan Suharto dari kelompok Bustanil Arifin ke kelompok Bob Hasan, laba bersih bank ini meningkat dari Rp 29 milyar (1994) menjadi Rp 46,7 milyar (1997) (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380, 406; Progres, No. 2/Vol. I, 1991: 27-29; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Prospek, 11 Mei 1991: 13; Forum Keadilan, 26 Mei 1994: 38, 2 Febr. 1995: 62-63; 17 Juli 1995: 90-91; Swa, Okt. 1995: 60-61).
Berkat jasanya "membenahi" Bukopin, BUN, dan Bank Duta, dua tahun lalu Bob Hasan dan anak-buahnya dipercayai mengambilalih satu-satunya bank yang didasarkan pada hukum Syari'ah, yang didirikan berdasarkan amanat Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI), Agustus 1990, yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dua orang direktur Bank Duta dan Bukopin (Muchtar Mandala dan Tommy Sutomo) diangkat menggantikan direktur lama, setelah Nusamba menjadi pemegang saham terbesar dengan menyetorkan Rp 25 milyar. Dengan demikian diharapkan laba bersih BMI, yang di tahun 1995 hanya mendekat Rp 5 milyar, dapat didongkrak (Ummat, 2 Okt. 1995: 98; Info Bisnis, 16 Juli 1996: 54-55; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 18)
Harap dicatat, lima bank yang kini dikuasai Bob Hasan (Bank Umum Tugu, BUN, Bank Duta, Bukopin, dan BMI) tak satupun tersentuh langkah pembenahan bank swasta oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, 1 November tahun lalu, atas dorongan IMF. Malah sebaliknya, Suharto secara khusus memberi kesempatan bank-bank itu membenahi diri.
Hari Jumat, 23 Januari lalu, Bob Hasan mengumumkan bahwa empat bank yang dikuasai kelompok Nusamba -- Bank Umum Tugu, BUN, Bukopin, dan Bank Duta -- akan dilebur menjadi satu bank baru dengan aset total bernilai Rp 21 trilyun (A$ 2,54 milyar). Sambil membantu mengatasi pinjaman-pinjaman yang tidak produktif (non-performing loans ), merjer itu akan memadu kekuatan masing-masing bank. Misalnya, Bank Duta kuat di perdagangan eceran, BUN kuat di pinjaman komersial, Bank Tugu kuat di sektor minyak dan gas, sedangkan Bukopin kuat di pinjaman kredit usaha kecil (Sydney Morning Herald & The Australian, 27 Januari 1998).
Betapapun, keuntungan trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari BMI dan bank Nusamba baru itu nantinya masih lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan dari saham mereka dalam perusahaan semen PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP). Menurut Vatikiotis (1990: 62), di tahun 1990 trio itu masing-masing memiliki 6,39% saham dalam perusahaan semen terbesar di Indonesia itu. Berarti total saham trio itu 19,17%. Namun menurut majalah bisnis milik Sukamdani, tiga tahun kemudian saham trio itu dalam Indocement tinggal 3,21% (Indonesia Business Weekly , 5 Maret 1993: 39). Mana yang benar, tidak begitu jelas. Yang jelas, laba bersih perusahaan semen itu pada tahun 1997 telah melebihi Rp 0,5 trilyun (IEFR, 1997: 202). Berarti dividen trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari ITP saja tahun lalu berkisar antara Rp 17 milyar dan Rp 105 milyar!
Selain merupakan hasil dari berbagai bentuk korupsi, khususnya nepotisme, sebagian uang Yayasan Dharmais juga bergelimang darah: darah wartawan muda Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias "Udin", yang mati terbunuh pada tanggal 13 Agustus 1996. Seperti yang sudah cukup merata diketahui pers Indonesia, yang mengantar Udin ke kematiannya adalah tulisannya di harian Yogya itu tentang maksud Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, untuk menyumbang sejumlah uang ke Yayasan Dharmais, agar ia dapat "terpilih" kembali sebagai Bupati (D&R , 26 April 1997: 78; Sydney Morning Herald , 18 Nov. 1997).
Sang Bupati bermaksud menyerahkan upeti itu ke Yayasan Dharmais melalui R. Notosuwito, Kepala Desa Kemusu. Orang ini, yang masih termasuk kerabat Suharto di kampung, notebene juga pengurus Yayasan Kemusuk Somenggalan yang punya HPH di Surinam. Dari sini tampaklah betapa involuted yayasan-yayasan Suharto ini.
Dua pesaing lama: -------------------------- Selain tiga besar tadi, ada dua yayasan yang juga dipimpin Suharto dan isterinya, yang kekayaannya mulai mengimbangi kekayaan trio Dakab-Dharmais-Supersemar, dilihat dari omset perusahaan yang "dirasuk" saham yayasan-yayasan ini, yakni Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Trikora.
Berikut ini daftar nama perusahaan yang saham-sahamnya ikut dimiliki Yayasan Harapan Kita dan Trikora, bersama-sama atau sendiri-sendiri (May, 1978: 296-297; Shin, 1989: 354; Tempo, 4 Febr. 1978; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Tambahan Berita Negara RI No. 56, tgl. 13 Juni 1971):
PT Bogasari Flour Mills PT Bank Windu Kencana PT Kalhold Utama PT Fatex Tory PT Batik Keris PT Gula Putih Mataram PT Gunung Madu Plantation PT Hanurata PT Harapan Insani PT Kartika Chandra PT Kartika Tama PT Marga Bima Sakti PT Rimba Segara Lines PT Santi Murni Plywood RS Harapan Kita
Inipun hanyalah suatu daftar minimal. Sebab perusahaan-perusahaan inipun sudah banyak beranak-cucu. PT Hanurata misalnya, yang dipimpin mantan Dirjen Bea-Cukai Tahir, sudah berkembang menjadi kelompok perusahaan yang menjalankan bisnis pertambangan, kehutanan, tekstil, konstruksi, dan jalan tol Jakarta-Merak. Total aset kelompok ini sekitar Rp 500 milyar (Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 23).
Batik Keris misalnya, yang kini dipegang oleh anak-cucu almarhum Kwee Som Tjok (Kasom Tjokrosaputro), kini telah berkembang menjadi konglomerat yang mencakupi 41 unit usaha, yang tidak hanya bergerak di bidang perbatikan, melainkan juga punya memproduksi dan mengelola pabrik tekstil dan garment, pabrik serat sintetis, properti, hotel, konstruksi, pabrik sepatu, angkutan udara, dan beberapa bank, dengan total aset hampir Rp 1 trilyun di tahun 1996. Selain karena kerja keras keluarga Tjokrosaputro, tentu saja perkembangan ini dilumas oleh fasilitas berkat bantuan almarhumah Nyonya Tien Suharto selaku ketua Yayasan Harapan Kita (May, 1978: 296-297; IEFR, 1997: 132-133; Prospek , 9 Febr. 1991: 76-77; Warta Ekonomi, 27 April 1992: 37; InfoBisnis , Juli 1994; Tiras, 2 Juni 1997: 88-89.
Namun sumber pemasukan Yayasan Harapan Kita yang terlama -- barangkali juga terbesar -- adalah pabrik penggilingan terigu Bogasari, yang sudah berkembang menjadi konglomerat penghasil produk gandum, khususnya supermi, yang luarbiasa sukses bisnisnya berkat monopoli impor gandum yang dilindungi Bulog.
Pabrik terigu itu didirikan "Oom Liem" dan Sudwikatmono, saudara sepupu Suharto, di tahun 1971 untuk menangkap "bantuan pangan" dari Paman Sam berupa gandum lewat Public Law 480 yang diputuskan Kongres AS guna menyubsidi para petani gandum Amerika. Di Indonesia, "bantuan pangan" AS itu dipakai untuk membantu mengisi kocek keluarga Suharto beserta keluarga para jendral pendukungnya, sambil merugikan posisi petani padi Indonesia yang selama tiga dasawarsa dirugikan nilai tukar perdagangannya.
Sepertiu yang sudah dijelaskan di depan, dalam dasawarsa pertama beroperasinya kilang-kilang gandum Bogasari di Tanjung Priok dan Tanjung Perak, akte notaris perusahaan itu menentukan bahwa 26% laba perusahaan itu harus disalurkan ke Yayasan Harapan Kita dan YDP Kostrad.
Tahun 1977, akte notaris PT Bogasari Flour Mills direvisi. Yayasan Dharma Putera Kostrad dicoret dari daftar penerima labanya, dan hanya disebutkan bahwa 20% laba perusahaan itu harus digunakan untuk kepentingan sosial. Namun ada pemegang saham baru masuk, di samping Oom Liem dan Sudwikatmono, yakni Christine Arifin, isteri Bustanil Arifin, yang ketiban rezeki 21% saham Bogasari.
Dengan sang isteri menguasai 21% saham PT Bogasari sementara sang suami menjadi wakil ketua Yayasan Dharmais, mudahlah Bogasari menjadi salah satu sapi perahan yayasan-yayasan Suharto, mengingat 'manunggalnya' pabrik terigu itu dengan kompleks industri pangan siap pakai PT Indofood Sukses Makmur (IFM) yang menguasai 90% pangsa pasar mi instant di Indonesia. Belum lagi keuntungan Bogasari dari ongkos giling gandum yang mereka pungut dari Bulog sebesar US$ 116 per ton, yang US$ 40 dollar lebih mahal dari kilang-kilang gandum lain di dunia.
Dengan ongkos giling yang jauh lebih mahal ketimbang pabrik-pabrik di AS, tentu saja persentase labanya juga lebih tinggi. Kalau di AS marjin laba kilang terigu hanya US$ 10 per ton, atau sekitar 6% dari harga gandum, di Indonesia laba yang dipetik Bogasari dari ongkos gilingnya US$ 35,70 per ton, atau 31% dari harga gandum (Shih, 1989: 353-355; Schwarz dan Friedland, 1991; Prospek, 22 Des. 1990: 41; Laporan Khusus Swa,, Jan 1994).
Nah, kalau impor gandum Bogasari berangsur-angsur meningkat dari satu juta ton di tahun 1972 menjadi hampir lima juta ton tahun lalu (1997), dan kita anggap saja impornya rata-rata tiga juta ton setahun, maka total keuntungan bersih Bogasari selama 25 tahun berkisar sekitar US$ 2,25 milyar, atau sekitar Rp 4 trilyun!
Pendapatan Kelompok Salim di bidang pangan hanya ke luar dari kantong kiri masuk kantong kanan, menyatu dengan pendapatan dari pabrik semennya, sebab ITP juga menguasai 50.94 % saham ISM. Sementara laba ISM sesudah dipotong pajak di tahun 1997 sudah mencapai Rp 352 milyar (IEFR, 1997: 60).
Selain sumber pendapatan rutin yang luarbiasa berlimpah itu, Yayasan Harapan Kita juga sewaktu-waktu mendapat rezeki nomplok dari para pengusaha yang punya hubungan bisnis erat dengan keluarga Suharto. Misalnya, seiring dengan harijadi ke-53 Kelompok Bakrie, sang ketua, Aburizal Bakrie, didampingi CEO-nya, Tanri Abeng, sowan ke Jalan Cendana untuk menyerahkan sumbangan Rp 1 milyar bagi keperluan Yayasan Harapan Kita, melalui ketua yayasan itu, almarhumah Nyonya Tien Suharto (Swa, 9-29 Mei 1996: 40).
Tidak jelas apakah itu upeti, ataukah sumbangan sukarela tanpa tekanan alias "susu tante". Maklumlah, kelompok Bakrie punya segudang usaha kongsi dengan keluarga Suharto. Misalnya, dengan Bambang dan Sudwikatmono dalam bisnis minyak mentah Pertamina lewat Hong Kong, dengan Bambang dalam perkebunan karet di Sumatra, dengan Sudwikatmono dalam Bank Nusantara International, dengan Nusamba di PT Freeport Indonesia, dengan Titiek Prabowo dalam proyek PLTU Tanjung Jati A, dan dengan Tommy dalam bisnis eceran Goro dan Gelael (Pura, 1986; Toohey, 1990; Borsuk and Solomon, 1997; IEFR, 1997: 4; Warta Ekonomi, 4 April 1994: 29-30, 5 Juni 1995: 64-65, 30 Sept. 1996: 39-40; Gatra, 8 Juli 1995, 4 Nov 1995: 29; D & R, 10 Mei 1997: 92; Tiras, 2 Juni 1997: 31-33).
Sebelum beralih ke bagian berikut, sedikit catatan perlu diberikan tentang Yayasan Harapan Kita, yang di tahun 1971 diprotes para aktivis mahasiswa dan intelektual muda seperti Arief Budiman, karena keterlibatan yayasan itu dalam memanipulasi kekuasaan sang suami ketua yayasan itu untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Dua tahun lalu, nama yayasan itu sempat tercoreng sekali lagi, karena diduga terlibat dalam "pencucian uang" (money laundering ) lewat satu anak perusahaannya, PT Harapan Insani, dan sebuah bank misterius, Dragon Bank International, yang berpusat di Kepulauan Vanuatu di Pasifik Selatan, dengan kantor cabang di Jakarta.
Tanggal 18 Juli 1996, harian Neraca (Jakarta) memberitakan bahwa Mabes Polri akan memeriksa seorang bernama "DR. Ibnu Widojo, bos PT Harapan Insani [yang] kabarnya merupakan adik dari seorang pejabat tinggi pemerintahan Indonesia". Sydney Morning Herald pada hari yang sama secara eksplisit mengatakan bahwa Ibnu Widoyo adalah seorang ipar Presiden Suharto. Majalah bisnis Warta Ekonomi tanggal 1 Juli 1996, juga secara eksplisit mengatakan bahwa Ibnu Widojo adalah "adik kandung Ibu Tien Soeharto (alm) dan juga presdir PT Harapan Insani" (hal. 22).
Sebagai partner Bank Dragon di Jakarta, PT Harapan Insani waktu itu berniat membangun serangkaian proyek ambisius bernilai lebih dari US$ 7 milyar. Rinciannya adalah bisnis telekomunikasi senilai US$ 4 milyar, bekerjasama dengan Ghuangzhou Greatwall Electronic & Communication Co., Ltd. dari RRC, dan pembangunan satu gedung pusat perdagangan setinggi lebih dari 101 lantai di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, senilai US$ 3 milyar.
Selain di Indonesia, kongsi Dragon Bank-PT Harapan Insani itu juga menandatangani rencana kerjasama dengan Mara Holding Sdn. Bhd., satu perusahaan di bawah partai pemerintah, UMNO, untuk membangun proyek perumahan dan hotel bernilai Rp 200 milyar di resor pariwisata Pulau Langkawi, Malaysia (Bursa, 4 Juni 1996).
Setelah kehadiran cabang bank Vanuatu itu diprotes Standard Chartered Bank dan Hong Kong Bank, karena ketidakberesan transaksi mereka dengan "bank" itu, dua orang Taiwan pengelola Dragon Bank diusir dari Jakarta dan Ibnu Widojo diumumkan akan diperiksa. Namun setelah itu mendadak berita-berita tentang Dragon Bank lenyap dari udara, sama misterius dengan kedatangannya. Uang yang konon disalurkan oleh bank itu, lewat Vanuatu, juga lenyap tak berbekas.
Makanya pertanyaan apakah betul Dragon Bank dan partnernya, PT Harapan Insani, terlibat dalam pencucian uang haram, dan kalau betul, milik siapa uang haram yang mau dicuci itu, belum terjawab. Namun harap dicatat, Vanuatu bukan tempat baru bagi keluarga besar Suharto, sebab perusahaan mereka yang berkantor di Hong Kong, Panca Holding, yang menguasai impor bahan baku plastik ke Indonesia, didaftarkan di Vanuatu di tahun 1984, dengan Sigit, Bambang, dan Sudwikatmono sebagai direkturnya (Pura dan Jones, 1986a dan 1986b).
Ibnu Widojo sendiri, tampaknya tidak mencapat kesulitan apa-apa dari aparat hukum di Indonesia. Namanya tetap tercatat di bursa saham Jakarta sebagai pemegang 2,80% saham PT Dramindo Adhiduta, satu perusahaan investasi dengan konsesi pertambangan emas seluas 4.000 hektar di Riau. Laba bersih perusahaan ini, tahun 1996, mendekati Rp 1,5 milyar (IEFR, 1997: 30).
Tiga pesaing baru: ------------------------- Berbeda dengan kedua pesaing lama (Harapan Kita dan Trikora), ada tiga pesaing baru, yakni Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), dan Yayasan Dana Kesejahteraan Mandiri (YDKM) yang penghasilannya dengan cepat melambung tinggi.
Yayasan Purna Bhakti Pertiwi lebih dikenal sebagai pengelola museum senama milik Suharto dan isterinya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Museum Purna Bhakti Pertiwi tempat memamerkan sebagian besar cendera mata yang pernah diterima Kepala Negara dan Ibu Negara, dibangun atas biaya sejumlah pengusaha top, yang perusahaannya boleh jadi ikut memiliki saham yayasan itu.
Para pengusaha itu pertama-tama adalah Probosutejo dan Sudwikatmono, yang masing-masing menyumbangkan paling kurang Rp 300 juta untuk pembangunan museum itu. Kemudian, ada tujuh orang usahawan lain yang masing-masing menyumbangkan Rp 200 juta, yakni Tommy Suharto; Robby Sumampouw, pemilik kasino di Pulau Christmas yang pernah merajai semua bisnis basah di Timor Leste; Tonny Hardianto (direktur PT Binareksa Perdana, perusahaan milik Tommy Suharto yang menjadi motor BPPC); A.R. Ramly (waktu itu Presiden Komisaris PT Astra International); Prayogo Pangestu (Barito Pacific); Usman Admadjaja (Bank Danamon); dan Henry Pribadi (Kelompok Napan) (Prospek, 7 Maret 1992: 78; Bisnis Indonesia , 15 Febr. 1994, 5 Maret 1994; Surya, 15 Febr. 1994).
Tapi itu semua masih kecil dibandingkan dengan pemasukan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari 22 % sahamnya dalam perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Tahun 1997, laba bersih perusahaan jalan tol pimpinan Tutut itu mencapai Rp 123,6 milyar (IEFR, 1997: 538). Berarti dividen Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari jalan-jalan tol CMNP, sebelum krisis moneter melanda negeri kita, tahun lalu telah mencapai Rp 27 milyar!
Belum lagi dividen yayasan ini, setelah jalan-jalan tol yang dibangun dan dikelola kongsi-kongsi CMNP di Malaysia, Filipina, Burma, dan Cina untuk masa kontrak 30 tahun mendatang, mulai beroperasi (Info Bisnis , Juni 1994: 11; Business Week , 19 Agustus 1996: 16; Swa , 5-18 Juni 1997: 46; EBRI , 5 Maret 1997: 44; Prospek , 18 Agustus 1997: 49).
Yang jelas, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi terus terjamin pemasukannya dari jalan-jalan tol yang dibangun sang putri sulung berkat dorongan sang ayah sebagai tokoh ASEAN, tokoh APEC, ketua Gerakan Non-Blok dan tokoh Gerakan Negara-Negara Muslim.
Berkat pemasukan dari jalan tol itu, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi kini telah menyaingi Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), yang terutama menikmati masa jayanya ketika Sudharmono menjadi Kepala Sekretariat Negara (Sekneg). Selain menjadi Ketua Tim Keppres 10 yang menyaring semua proyek pembangunan daerah yang nilainya di atas Rp 500 milyar, Sudharmono juga menjadi Ketua Umum Golongan Karya dan Sekretaris YAMP. Posisi 'penjaga gawang' itu memungkinkan Sudharmono membesarkan sejumlah pengusaha pribumi, termasuk menantunya sendiri, Bambang Rachmadi, pemegang franchise McDonald di Indonesia, Agus Kartasasmita (adik Ginanjar Kartasasmita), dan kelompok Medco, salah satu perusahaan keluarga Eddi Kowara, mertua Tutut.
Bersama-sama Yayasan Dakab, YAMP menjadi sumber utama pembiayaan Golongan Karya, didukung "sumbangan wajib" antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan bagi setiap pegawai negeri yang Muslim. Berkantor di gedung Setneg, YAMP ikut mengelola proyek-proyek Bantuan Presiden (Banpres). Terang saja para pengusaha yang ingin produk atau jasa dagangannya digunakan dalam proyek-proyek Banpres, mau tidak mau harus 'menyumbang' Yayasan ini, yang pada gilirannya mencari dukungan umat Islam bagi Golkar dan Suharto khususnya dengan menyumbang pembangunan mesjid di mana-mana. Dewan pengurusnya ini terdiri dari Suharto sebagai ketua, Alamsyah, Widjojo Nitisastro, Amir Machmud, K.H. Tohir Widjaja, dan Haji Thayeb Gobel (alm.) sebagai wakil ketua, serta Sudharmono, Bustanil Arifin dan Soekasah Somawidjaja sebagai sekretaris (Vatikiotis, 1990: 63; Pangaribuan, 1995; IEFR, 1997: 35)
Posted by: Jason alexander 1:45 PM

No comments:

Post a Comment